Ustadz Ferhat Bas: Dari Sulaimaniyah untuk Umat




 Saturday, 11 August 2012 13:33


Bersama guru-guru yang lain, baik dari Turki maupun Indonesia, ia mengabdikan dirinya mendidik tunas-tunas muda yang diharapkan dapat menjadi kader-kader pengajar hafizh Al-Qur’an di kemudian hari.
Bersama guru-guru yang lain, baik dari Turki maupun Indonesia, ia mengabdikan dirinya mendidik tunas-tunas muda yang diharapkan dapat menjadi kader-kader pengajar hafizh Al-Qur’an di kemudian hari.

Ada sebuah hadits yang sangat akrab di telinga kita: Khayrukum man ta`allamal-qur’ana wa `allamah (Sebaik-baik kalian adalah yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya). Itulah kabar gembira dari Nabi SAW. Tentu yang dimaksudkan adalah yang benar-benar mempelajarinya dan benar-benar pula mengajarkannya dengan memperhatikan segala adabnya.

Di antara mereka yang beruntung tergolong dalam kelompok tersebut adalah para guru Al-Qur’an, baik yang mengajarkan bacaannya maupun yang mengajarkan hafalannya. Mereka
tersebar di berbagai lembaga pendidikan, baik ma`had-ma`had (pesantren-pesantren), madrasah-madrasah, majelis-majelis ta’lim, dan sebagainya.

Di Indonesia, banyak terdapat pesantren tahfizh Al-Qur’an, baik yang khusus untuk anak-anak maupun untuk pelajar yang sudah lebih besar. Tetapi tak banyak yang tahu tentang Pesantren Sulaimaniyah di Jakarta (lihat Ma’had pada alKisah edisi 13/2012) yang pendidikannya selama empat tahun (dua tahun di Jakarta, dua tahun di Turki). Pesantren ini membimbing santri-santrinya dapat menghafal 30 juz Al-Qur’an dalam waktu yang singkat, hanya kurang lebih satu tahun. Dan setelah itu, selama tiga tahun berikutnya mereka mendalami ilmu-ilmu agama serta bahasa Arab dan bahasa Turki.

Kiprah Pesantren Sulaimaniyah bukan hanya di Indonesia. Pesantren-pesantren yang sama telah didirikan di banyak negara dengan memberikan pengajaran yang sama dan dengan metode yang sama pula. Sedangkan nama “Sulaimaniyah” sendiri diambil dari nama seorang tokoh ulama terkemuka di Turki, Syaikh Sulaiman Hilmi Tunahan, yang berjasa besar dalam pengajaran Al-Qur’an di Turki yang cara-cara pengajarannya kemudian tersebar luas di berbagai negara.          

Salah seorang guru Pesantren Sulaimaniyah yang mengajar tahfizh Al-Qur’an, selain bahasa Arab dan fiqih, adalah Ustadz Ferhat Bas, seorang hafizh dari Turki. Bersama guru-guru yang lain, baik dari Turki maupun Indonesia, ia mengabdikan dirinya mendidik tunas-tunas muda yang diharapkan dapat menjadi kader-kader pengajar hafizh Al-Qur’an di kemudian hari.  


Dipersatukan oleh Islam

Sebelum ke Indonesia,
Ustadz Ferhat juga menimba ilmu di pesantren yang sama di Turki setelah menyelesaikan sekolah dasar. Sebagaimana di banyak pesantren, pelajaran-pelajaran yang diterimanya harus dihafal, baik fiqih, nahwu, sharaf, maupun pelajaran-pelajaran lain. Namun bukan sekadar untuk hafalan, melainkan juga untuk menguatkan pemahaman.

Kegiatan pengajaran berlangsung ketat dengan waktu yang padat. Selain tahfizh Al-Qur’an dengan mempelajari qiraat sab`ah dan qiraat asyarah, para santri juga mempelajari berbagai cabang ilmu agama. Pagi belajar bahasa Arab, siang fiqih, sore aqidah, dan malam hadits. Juga belajar ilmu-ilmu lain yang diminati. Ia sendiri mempelajari khat (kaligrafi) Arab. Sebagaimana diketahui, Turki juga terkenal dengan para khaththath (kaligrafer)-nya dengan karya-karyanya yang indah. Namun setelah ke Indonesia, hobi itu tak sempat ditekuninya lagi, karena sibuk dengan tugas-tugas yang ada.

Pengajaran di pesantren di Turki tempatnya belajar terbagi menjadi beberapa tingkatan, yakni Ibtidaiyah, Ihdariyah, Tahta Takamul, dan Takamul.

”Pengalaman berkesan yang tak terlupakan saat belajar di tingkat takamul (tingkat tertinggi/sempurna) adalah belajar bersama dengan saudara-saudara sesama muslim dari berbagai negara, misalnya Rusia, Kazakhstan, dan negara-negara Eropa lainnya, juga negara-negara Afrika, dari Timur Tengah. Tempat kami belajar adalah sebuah tempat di mana persaudaraan benar-benar dikukuhkan, mengikat luar biasa. Walaupun bangsa berbeda-beda, bahasa pun berlain-lainan, satu yang mengikat kami, yaitu belajar Al-Qur’an bersama-sama. Itu sangat mengesankan baginya.

Setelah menyelesaikan pelajaran, kami pun berpisah, yang masing-masing akan kembali ke negaranya dengan harapan akan berdakwah dan mengajarkan Al-Qur’an di negaranya. Saat perpisahan, setelah kami diberikan ijazah, kami yang berjumlah lebih dari 200 orang bersalaman dan berpelukan sambil menangis. Itu pengalaman luar biasa yang tak dapat saya lupakan. Kami bersyukur bahwa agama Islam telah menyatukan kami.”


Lancar Berbahasa Indonesia 
Tahun 2005 menjadi awal lembaran baru dalam kehidupan Ustadz Ferhat. Di tahun inilah ia pertama kali menjejakkan kaki di Indonesia dalam usia sangat muda, 18 tahun. Sejak itu hingga kini ia terus berinteraksi dengan masyarakat muslim Indonesia, bahkan menjadi bagian tak terpisahkan dari mereka.

Ketika pertama kali ke Indonesia, ia sama sekali belum bisa berbahasa Indonesia dan masih sangat awam tentang Indonesia. Di tempatnya belajar tak ada buku-buku tentang Indonesia, termasuk tentang pelajaran bahasa Indonesia. Jadi masih benar-benar awam tentang Indonesia.

Untuk kepentingan mengajar santri-santri di Indonesia, tentu ia harus dapat berbahasa Indonesia. Karena itu, kegiatan pertama yang dilakukan adalah belajar bahasa Indonesia di UI pada program yang dikhususkan untuk para penutur asing. Bersama beberapa rekan dari Turki ia belajar selama tiga semester. Dalam waktu 10 bulan ia sudah dapat berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dengan cukup lancar.

Ketika itu di Pesantren Sulaimaniyah sudah ada murid-muridnya sebanyak 12 orang. Sambil terus belajar ia pun mulai mengajar mereka. Kesempatan mengajar pun digunakan untuk melatih bahasa Indonesia agar semakin baik dan semakin lancar.

Minatnya yang besar kepada bahasa Indonesia kemudian mengantarkannya belajar di Unas pada tahun 2007 dengan mengambil jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Tanpa banyak kesulitan, Ustadz Ferhat dapat menyelesaikan kuliahnya dalam waktu empat tahun.


Belajar dengan Penuh Semangat 
Kegiatan mengajar tahfizh Al-Qur’an dan ilmu-ilmu agama di Pesantren Sulaimaniyah di Jakarta sangat membahagiakannya. Apalagi masyarakat muslim di Indonesia menyambut dan menerima dirinya dan rekan-rekan guru yang lain dari Turki  dengan sangat baik. Ia juga gembira karena pesantren ini dan pengajaran yang diberikannya diterima dengan penuh antusias. Setiap Pesantren Sulaimaniyah akan menerima para santri baru, sangat banyak yang berminat dan mendaftarkan diri.

Sama seperti di Turki, di sini pun kegiatan pengajaran berlangsung dengan ketat. Selama enam hari dalam seminggu, Senin sampai Sabtu ia bertugas di pesantren ini. Ia harus berangkat pagi-pagi benar dari rumahnya di Duren Sawit, Jakarta Timur, karena jam setengah enam pagi harus sudah ada di pesantren, sebab setoran tahfizh berlangsung mulai setengah enam sampai jam 10. Maka antara jam-jam itu ia menerima setoran hafalan Al-Qur’an dari para santri. Setelah itu mulai pukul 10.00 masuk kelas mengajar bahasa Arab, sampai pukul 12.00. Yang diajarkannya adalah ilmu-ilmu alat, yakni nahwu dan sharaf. Selain itu ia juga mengajar fiqih dan aqidah. Siang hari biasanya mengurus urusan-urusan pesantren.

Aktivitas mengajar di pesantren benar-benar menyenangkannya, karena ia dapat melihat bagaimana para santri sangat bersemangat ketika belajar dan menghafal. Ia mengutip perkataan sufi termasyhur, Maulana Jalaluddin Rumi, “Sebuah lilin tidak akan kehilangan apinya jika ia menyalakan lilin yang lain.” Jika seseorang mengajar orang lain, ilmunya tidak akan berkurang, apalagi hilang, bahkan akan bertambah. Dengan harapan seperti itu, ia merasa belajar juga ketika mengajar para santri. “Saya merasa bahwa mengajar itu bagaikan belajar sepuluh kali lipat dari apa yang diajarkan. Karena itu, saya tak akan menggantikan atau menukar kegiatan mengajar ini dengan apa pun,” katanya dengan mantap dan penuh keyakinan.

Ia juga menyitir sebuah peribahasa Turki, ”Tanduk akan lebih besar daripada telinga.” Kalau kita lihat seekor sapi, pada awalnya tanduknya lebih kecil daripada telinganya, namun lama-kelamaan tanduknya semakin membesar sampai akhirnya lebih panjang daripada telinganya. Seorang murid pun harus menjadi lebih pintar dibandingkan gurunya, tetapi tak boleh menyombongkan dirinya, apalagi kepada sang guru. Sebaliknya, seorang guru harus merasa senang jika melihat muridnya dapat melebihi dirinya. Berarti, ilmu yang diberikannya bermanfaat dan menjadi modal penting bagi sang murid untuk mengembangkan dirinya.


Metode Milik Umat 
Sebagaimana telah disebutkan dalam tulisan tentang Pesantren Sulaimaniyah di alKisah edisi 13/2012 yang lalu, metode Tahfizhul Qur’an yang diterapkan di pondok ini adalah metode Turki Utsmani, yang terbukti mampu membimbing para santri dapat menghafal 30 juz Al-Qur’an dalam waktu singkat. Mereka butuh waktu hanya satu tahun, bahkan ada yang bisa menghafalnya dalam waktu di bawah delapan bulan.

Meskipun demikian, Ustadz Ferhat tidak merasa bahwa metode Tahfizh Al-Qur’an yang dikembangkan di sini adalah milik Sulaimaniyah atau milik UICCI (United Islamic Cultural Centre of Indonesia) atau Yayasan Pusat Persatuan Kebudayaan Budaya Islam Indonesia, yayasan yang manaungi Pesantren Sulaimaniyah di Indonesia. ”Metode ini adalah milik semua umat Islam,” katanya menegaskan. Karena itu, ia dan guru-guru yang lain siap mengajarkan metode itu kepada siapa saja yang ingin mempelajari dan mengembangkannya di seluruh Indonesia.    

Berkat prestasi yang sangat bagus dari para pelajar Indonesia yang dikirim ke sana, para pengajar di sini sering mendapat pujian dari pesantren pusatnya di Turki. “Pelajar-pelajar yang kalian kirim ke Turki adalah pelajar-pelajar nomor satu.” Itu tentu sangat membahagiakan bagi dirinya dan pengajar-pengajar lain di Pesantren Sulaimaniyah di Indonesia.

Hal yang menyenangkan Ustadz Ferhat adalah bila ada santri yang kemampuannya atau prestasinya melebihi dirinya. “Saya dapat menghafal Al-Qur’an 30 juz dalam waktu sembilan bulan. Di sini ada santri yang dapat menghafalnya dalam waktu enam bulan. Tahun ini santri yang berasal dari Ciamis itu akan berangkat ke Turki bersama santri-santri yang lain. Ketika melihat ada santri saya yang lebih pintar dari saya, saya merasa bahagia.”

Sehari-harinya, selain membaca Al-Qur’an, amaliah rutin yang dilakukan Ustadz Ferhat di antaranya membaca wirid-wirid, terutama yang biasa dibaca para pengikut Tarekat Naqsyabandiyah.

Di waktu-waktu lain di luar aktivitas di pesantren, misalnya malam hari atau di saat-saat libur, ia terkadang menjalani kegiatan lain. Misalnya, berceramah di majelis-majelis ta’lim dan berbicara dalam seminar-seminar yang berkaitan dengan Tahfizh Al-Qur’an. Juga sering bersilaturahim ke pesantren-pesantren yang menjalin kerja sama dengan Sulaimaniyah. Baginya, itu hal yang penting dilakukan untuk mempererat ukhuwah Islamiyah antar-pesantren.

Hanya saja ada yang terkadang menjadi kendala, yaitu masih kurangnya dukungan sebagian orangtua. Ada orangtua yang sangat mendukung, tetapi ada pula yang kurang memberikan dukungannya. Mereka masih kurang memberikan pengarahan. Tak jarang kita mendengar kata-kata seperti, “Itu terserah anaknya.” Sikap yang demikian merugikan, karena anak menjadi kurang bersemangat. Sehingga jika menemui atau mengalami suatu masalah, ada sebagiannya yang langsung ingin mengundurkan diri.

Keadaan di Turki berbeda. Di sana pada umumnya orangtua dan keluarga sangat mendukung. “Jangan sampai pulang kalau belum selesai.” Kata-kata itu sering mereka ingatkan kepada anak-anak mereka yang sedang belajar di pesantren. Kata-kata “terserah anaknya” dengan “jangan sampai pulang” tentu berbeda pengaruhnya pada diri si anak. Ia berharap dukungan para orangtua santri terhadap anak-anaknya semakin meningkat, agar para santri yang belajar pun akan semakin bersemangat dan semakin baik hasil belajarnya.

Sejauh ini Ustadz Ferhat tak merasakan  kesulitan apa-apa dalam mengajar. “Orang Indonesia itu sangat bersungguh-sungguh dalam belajar, apalagi yang mempelajari Al-Qur’an. Para santri di sini tetap belajar meskipun di saat ustadznya tidak berada di tempat. Memang ketika pertama kali belajar, banyak di antara mereka yang agak santai, kurang bersemangat dan kurang disiplin. Tetapi setelah diberikan bimbingan bagaimana agar bisa mandiri, dapat disiplin, lebih semangat dalam belajar, dan sebagainya, mereka cepat sekali berubah. Dan ketika berangkat ke Turki pun, mereka di sana mendapatkan nilai-nilai yang lebih tinggi dibandingkan para pelajar yang dikirim dari negara-negara lain,” katanya mengomentari para santrinya.

AY

close
============> [ Close ] =============
>