Assalamu’alaikum wr.wb.
Saya pernah mendengar bahwa wanita haidh, nifas, atau junub, dilarang masuk masjid. Tapi ada rekan saya yang bersikukuh mengatakan bahwa hal itu hukumnya boleh. Lalu saya tanyakan kepada salah satu guru agama yang mengajar di sebuah majelis ta’lim, ia juga mengatakan boleh.
Hingga saat ini, terus terang, saya masih penasaran untuk mendapatkan keterangan tentang larangan akan hal itu. Tapi, alhamdulillah, sejak awal tahun 2009 di majalah alkisah ada rubrik fiqhun nisa’, dan kebetulan ada pembahasan yang sangat saya perlukan itu. Saya pun menjadi semakin yakin dengan yang selama ini saya telah yakini.
Kemudian saya punya pertanyaan, apa betul wanita haidh atau nifas dilarang memotongkuku dan rambut, hingga bahkan rambut yang putus pun harus dikimpulkan dan dimandikan ketika mandi janabat? Terima kasih, semoga Antum selalu dalam lindungan Allah SWT. Amin……
Wassalamu’alaikum wr.wb.
Irma Aljufri
Blok Kaum No. 225, Kalijati Barat,
Subang,41271
Wa’alaikumussalam wr.wb
Memang benar yang anti dengar dari ustadz tersebut bahwasanya menurut pendapat sebagian imam madzhab, seperti imam Ahmad bin Hanbal RA dan juga Madzhab Imam Dawud Azh-Zhahiri RA, diperbolehkan seorang wanita yang sedang haidh, nifas, atau junub, masuk ke dalam masjid. Tapi itu bukan pendapat Madzhab yang kita anut, yaitu Madzhab Imam Syafi’i RA, Madzhab mayoritas kaum muslimin di Negara kita, Indonesia, yang kita warisi sejak zaman walisanga.
Dalam kapasitas kita sebagai muqallid (orang yang bertalqid/mengikuti madzhab tertentu ), kita wajib konsisten mengikuti pendapat madzhab yang kita anut dan tidak diperkenankan mencampuradukkan pendapat para imam madzhab. Sebagaimana dalam pembahasan pada edisi yang telah lewat, dala madzhab kita, yaitu Madzhab Imam Syafi’I, seorang wanita haidh, nifas, atau junub, tidak diperbolehkan masuk kedalam masjid.
Kita memang dibebaskan untuk mengikuti salah satu madzhab dari empat madzhab fiqih Ahlussunah wal jama’ah. Tapi, kita tidak diperbolehkan mentalfik, yaitu mengikuti sebagian pendapat seorang imam dan mengambil bagian pendapat imam lainnya, alias mengambil yang enak-enak saja, sesuai dengan selera kita. Berdasarkan kesepakatan para ulama, hal itu tidak diperbolehkan, kecuali dalam masalah –masalah tertentu dalam madzhab kita di mana dalam mengerjakannya kita merasakan sempit atau berat.
Contoh dalam hal itu misalnya ketika melaksanakan thawaf. Jika kita mengambil pendapat madzhab kita yang menyatakan bahwa batalnya wudhu jika tersentuh kulit perempuan yang bukan mahram, akan sulit bagi kita untuk menerapkannya dalam ibadah haji, yang diikuti oleh begitu banyak orang pada saat itu dan jauhnya tempat untuk berwudhu. Dalam kondisi seperti itu diperkenankan berpindah kepada madhzab lainnya, dengan catatan memenuhi beberapa persyaratan sebagaimana yang disebutkan dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin, karya habib Abdurrahman Al-Mayshur.
Pertama, harus memahami dengan jelas masalah tersebut dalam madhzab yang sedang dianut, baik syarat-syaratnya, maupun hal-hal lainnya.
Kedua, tidak mengambil pendapat yang lebih memudahkan baginya dari madzhab-madzhab yang empat.
Ketiga, tidak mencampur -adukkan hukum, pada satu masalah, di antara beberapa pendapat imam madzhab. Misalnya seseorang yang berwudhu dengan mengikuti tata cara wudhu madzhab Imam Syafi’I, kemudian ia mengikuti madzhab Imam Malik, yang menyatakan wudhunya tidak batal saat bersentuhan kulit dengan seorang wanita yang bukan mahram. Akibatnya dalam kondisi seperti itu, menurut madzhab Imam Syafi’I, wudhunya batal (karena bersentuhan kulit dengan perempuan bukan mahram), dan menurut madzhab Imam Malik wudhunya dianggap tidak sah, karena dalam madzhab Maliki seseorang yang berwudhu harus mengusap semua bagian kepala dan rambutnya, harus menekan setiap kali membasuh anggota wudhu, serta harus melakukan Muwalah (berturut-turut tidak diselingi kegiatan yang lain) ketika berwudhu, dan ini tidak dipersyaratkan dalam tata cara wudhu dalam madzhab Imam Syafi’i. Jadi kesimpulannya, jika tidak mau wudhunya batal dengan mengikuti madzhab Imam Malik, tata cara wudhunya pun harus dengan tata cara wudhu dalam madzhab Imam Malik.
Keempat, masalah yang untuk sementara waktu ia sedang bertaqlid kepada pendapat madzhab lainnya itu bukan masalah yang membatalkan keputusan seorang hakim.
Adapun masalah MEMOTONG RAMBUT DAN KUKU KETIKA SEDANG HAID ATAU JUNUB, memang sebaiknya dipotongnya setelah suci dari haid atau junubnya. Tetapi kalau ada sesuatu keperluan yang memaksa, hokum memotong pada saat itu tidak mengapa dan tidak perlu disimpan untuk nantinya disucikan bersamaan ketika mandi suci. Memang ada sebuah Hadits berisikan ancaman bagi mereka yang tidak menyucikan bagian anggota badannya ketika bersuci seperti disebutkan di bawah ini :
عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اَللهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ
اللهِ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ مَنْ تَرَكَ مَوْضِعَ شَعْرَةٍ
مِنْ جَنَابَةٍ لَمْ يُصِبْهَا الْمَاءُ فَعَلَ اللهُ بِهِ كَذَا وَ كَذَا مِنَ النَّارِ
, قَالَ عَلِيٌّ فَمِنْ ثُمَّ عَادَيْتُ شَعْرِي , وَكَانَ يُجْزِيْهِ
(رَوَاهُ اَحْمَدُ وَ اَبُو دَاوُدَ)
Berkata Sayyidina Ali RA, “Aku mendengar Rasulullah bersabda, ‘Barang siapa meninggalkan satu tempat dari rambutnya hingga tidak terkena air ketika mandi dari janabah, Allah akan memberinya siksaan sedemikian rupa dalam neraka.’
Maka Berkata Imam Ali, “Mulai saat itu aku gunduli kepalaku, lantaran takut ancaman tersebut.” (HR Ahmad dan Abu Dawud ).
Akan Tetapi hadis tersebut tidak diambil sebagai dalil oleh Imam Syafi’i RA. Jadi hukumnya tidak apa-apa memotong kuku atau rambut pada waktu haidh atau junub, hanya saja memang lebih baik mengakhirkannya hingga ia suci dari haidh atau junubnya.
Semoga penjelasan ini dapat membuka wawasan beragama kita, sehingga kita tidak menjadi seorang yang fanatik dengan Madzhab kita dengan meremehkan atau bahkan menyalahkan Madzhab lainnya.
*Sumber : Majalah Al-Kisah, pertanyaan tersebut dijawab oleh Ustadz Segaf bin Hasan Baharun